Peradaban Islam dan Peran Ormas Islam
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah Peradaban Islam tidak bisa lepas dari peranan
budaya di masa lalu yang membutuhkannya hingga seperti sekarang ini.
Budaya-budaya tersebut diwariskan secara turun-temurun dikalangan umat Islam
yang kemudian dalam prakteknya seakan sudah menjadi sebuah tradisi yang
beradabtasi atau diambil dari kebiasaan para sahabat rasul dimasa lalu.
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya sebagian
besar beragama Islam, sehingga sudah selayaknya menempatkan diri dalam
membangun peradaban islam. Mau tidak mau suatu peradaban tersebut akan
terbentuk oleh umatnya. Perkembangan Islam yang ada di Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh perkembangan Islam di belahan bumi lain. Adapun pengaruh dari
dalam negeri adalah peran dari ormas Islam seperti Muhamadiyah dan Nahdatul
Ulama (NU). Kedua organisasi ini adalah organisasi islam terbesar di Indonesia.
Oleh karena itu tidak heran kedua organisasi ini mempunyai peran yang cukup
besar dalam sejarah peradaban islam di Indonesia.
Dalam makalah ini kami hanya membatasi pada peradaban
islam dan kedua Ormas islam terbesar yaitu Muhamadiyah dan Nahdatul Ulama.
Namun, tetap akan dipaparkan alur sejarahnya secara singkat. Demi mengetahui
historisitasnya. Sebab, dalam perjalanannya islam di indonesia banyak sekali
mangalami akulturasi dan ikut berperan dalam perubahan keadaan Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna peradaban islam?
2. Bagaimana peradaban islam di indonesia?
3. Bagaimana peran Ormas Muhammadiyah dan Nahdatul
Ulama?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui makna Peradaban Islam.
2.
Untuk
Mengetahui Peradaban Islam di
Indonesia.
3.
Untuk
Mengetahui Peran Ormas Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama.
PEMBAHASAN
A. PERADABAN ISLAM
Makna peradaban Islam dibagi dalam tiga pengertiannya,
pertama, kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam suatu
periode kekuasaan Islam, mulai dari periode nabi Muhammad saw. sampai
perkembangan kekuasaan Islam sekarang. Kedua, hasil-hasil yang dicapai oleh
umat Islam dalam lapangan kesustraan, ilmu pengetahuan, dan kesenian. Ketiga,
kemajuan Islam atau kekuasaan Islam berperan melindungi pandangan hidup Islam.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh
Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur
Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar. Pertama, teori
Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui
peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori
Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui
jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam
tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam
perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
·
Sebelum
kemerdekaan
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh. Ini
mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang
bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M.
Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi
Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama
islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena
itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama
islam ke Indonesia.
Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di
peureulak Aceh Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam
pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara. Pesisir Utara pulau Jawa kemudian meluas
ke Maluku yang selama beberapa abad menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan
Majapahit.
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya
penguasa kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam
hampir meliputi sebagai besar wilayah Indonesia.Sejak pertengahan abad ke XIX,
agama islam di Indonesia secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang
Singkretik (mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan
dengan Mekkah dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang
bermukim bertahun-tahun lamanya.
·
Sesudah
kemerdekaan
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu dinamis untuk
dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan penjajah yang tak
mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus melalui
pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi. Seperti :
- Budi Utomo (1908) - Taman Siswa (1922)
- Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul Ulama (1926)
- Muhammadiyah (1912) - Partai Nasional Indonesia
(1927)
- Partai Komunis Indonesia (1914)
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih
ada organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
- Jamiat Khair (1905)
- Persyarikatan Ulama ( 1911)
- Persatuan Islam (1920)
- Partai Arab Indonesia (1934)
Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi
tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan
Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum
penjajah, maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor
pembentukan suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala
Indonesia ( Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang
didirikan di Surabaya pada tahun 1937.
B. PERAN ORMAS ISLAM
1. Muhammadiyah
Muhamadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 oleh Kyai Haji Akhmad dahlan atas saran yang diajukan oleh
murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu
lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Organisasi ini mempunyai maksud
mengajarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putera
dan memajukan hal agama islam kepada anggota-anggoanya. Untuk mencapai ini, organisasi
itu bermaksud mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan
tablig dimana dibicarakan masalah-masalah islam, menerbitkan wakaf dan
mendirikan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur surat-surat
kabar dan majalah-majalah.
Usaha lain untuk mencapai maksud dan tujuan ini ialah
dengan:
1.
Mengadakan
dakwah islam;
2.
Memajukan
pendidikan dan pengajaran;
3.
Mengidup-suburkan
masyrakat tolong-menolong;
4.
Mendirikan dan
memelihara tempat ibadah dan wakaf;
5.
Mendidik dan
mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang islam yang
berarti;
6.
Berusaha kearah
perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama islam ;
7.
Berusaha dengan
segala kebijaksanaan, supaya kehendak dan peraturan islam berlaku dalam
masyrakat. (Anggaran Dasar Muhammadiyah Desember 1950)38.
Disamping itu,
muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah/madrasah-madrasah berlipat ganda banyaknya
dari masa penjajahan dahulu. Menurut siaran muhammadiyah (Edisi Oktober 1957)
jumlah sekolah agama /madrasah muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1.
Madrasah
Ibtidaiyah………………………………………… 412 buah
2.
Madrasah
Sanawiyah…………………………………………. 40 buah
3.
Madrasah Diniyah
(Awaliyah)……………………………….. 82 buah
4.
Madrasah
mu’allimin………………………………………… 73 buah
5.
Madrasah
Pendidikan Guru Agama…………………………...75 buah43.
·
Sebelum
kemerdekaan
Muhammadiyah pada awal pertumbuhannya tidak dapat
dilepaskan dari sosok Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923). Kiai ini lahir dan
berjuang di tengah alam penjajahan. Ia bangkit dari balik kemelaratan sosial
akibat penjajahan dan menguatnya feodalisme yang menelantarkan hak-hak sosial
secara wajar. Kaum kolonial terutama Belanda yang paling lama mengabaikan tradisi
lokal dan bangsa sekaligus memiliki pengaruh paling mendalam terhadap bangsa
pribumi melalui supra dan infrastruktur ekonomi dan politik yang dipaksakannya.
Pada konteks demikian, bangsa kolonial memang hanya mengutamakan kepentingan
ekonomi dan politiknya atas bangsa yang dijajahnya (Ruswan, 1997: 127).
Reformasi di bidang keagamaan dan sosio-kultural yang
dilakukan oleh Muhammadiyah inilah selanjutnya dapat dikategorikan sebagai
“polimorphic” yakni dalam makna bahwa gerakan tersebut diwujudkan dalam
berbagai bidang (Jainuri, 1999:17), seperti pendidikan, tabligh, sosial,
ekonomi dan budaya, serta pada aspek tertentu dalam gerakan politik. Hal ini
perlu ditegaskan bahwa Muhammadiyah memang menyatakan diri sebagai organisasi
sosial-keagamaan, tetapi Muhammadiyah sendiri juga memiliki strategi politik
dalam merespons Kolonialisme. Strategi politik yang dimaksud adalah pembangunan
kecerdasan dan mentalitas umat agar bangkit sejajar dengan negara-negara maju; bukan
menjadi bangsa kuli bagi kaum penjajah.
Sikap yang dibangun Ahmad Dahlan terhadap kaum
kolonial Belanda memang tidak konfrontatif tetapi kooperatif. Sikap ini berbeda
dengan kalangan Muslim pada umumnya yang reaktif dalam merespons bahwa semua
hal yang berasal dari Barat itu haram dan siapapun yang mengikutinya berarti
kafir. Ahmad Dahlan memotivasi anggota-anggotanya untuk memanfaatkan
bentuk-bentuk modernisasi Barat yang dapat diterima oleh nilai-nilai Islam. Ini
berarti, Muhammadiyah tidak begitu saja mengambil gagasan modernisasi, tetapi
menyaringnya. Seperti watak modernisasi Barat yang mengeksploitasi alam, budaya
dan manusianya ditentang oleh Ahmad Dahlan, namun modernisasi dalam bentuk
berfikir maju untuk menyelesaikan kesengsaraan umat, membangun sarana
pendidikan dan kesehatan yang maju diadopsi secara kreatif.
Selanjutnya pada saat revolusi fisik 1945 menghadapi
pendudukan Jepang, banyak tokoh-tokoh Muhammadiyah mengambil peran. Kegiatan
pengajian anggota Muhammadiyah setiap malam Selasa di Kauman Yogyakarta sempat
menghadirkan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk menyelaraskan perjuangan
dalam bidang militer dan perjuangan dalam bidang spiritual. Bahkan Mesjid Besar
Kauman pada waktu itu menjadi markas Angkatan Perang Sabil (APS).
Dalam keadaan darurat di atas, Muhammadiyah memberi
instruksi kepada cabang-cabangnya di Jawa dan Madura, yang isinya:
Seluruh anggota Muhammadiyah harus turut bekerja dan
berjuang untuk meluhurkan serta menegakkan ajaran Islam dan negara Republik
Indonesia. Masing-masing mengambil tempat yang disanggupi dan yang tepat
(Sukriyanto AR dan A. Munir Mulkhan [1985] dalam Syaifullah, 1997:129).
Oleh karena itu, tidak aneh apabila pada masa revolusi
fisik, penanganan pengembangan pendidikan dan sosial dinomorduakan karena
banyak sumber daya manusia Muhammadiyah yang terserap revolusi, baik ikut dalam
pertempuran maupun duduk dalam pemerintahan atau dalam bidang lain (PP
Muhammadiyah Majlis Pustaka [1995] dalam Syaifullah, 1997:129).
Sementara itu di kawasan Sulawesi, NICA Belanda
berusaha menguasai daerah tersebut. Sebagai reaksinya, Dr. Ratulangie, pada
November 1945 membentuk Pusat Keselamatan Rakyat Sulawesi (PKRS). H. S.D.
Muntu, Ketua Muhammadiyah Wilayah Sulawesi, ikut duduk menjadi anggota
organisasi tersebut. Di kawasan Aceh, pada 12 Agustus 1947, Muhammadiyah berperan
aktif membentuk Dewan Pertahanan Daerah (DPD). Di Sumatera Utara, khususnya
Medan, inisiatif mobilisasi Islam dalam perjuangan anti-Balanda digerakkan oleh
seorang tokoh muda Muhammadiyah, Bachtiar Yunus; serta masih banyak lagi
peran-peran perjuangan fisik di tingkat lokal yang dilakukan oleh para anggota
Muhammadiyah (Syaifullah, 1997:134-137).
Peran Muhammadiyah melalui perjuangan senjata pada
masa itu merupakan tuntutan kontekstual dan dinamis yang mesti dilakukan.
Meskipun Muhammadiyah secara kelembagaan bukan kekuatan militer tetapi
Muhammadiyah terutama para anggotanya terinspirasi untuk berbuat yang terbaik
bagi bangsanya. Naluri perjuangan ini telah mengakar dan tumbuh dalam
Muhammadiyah.
·
Sesudah
Kemerdekaan
Lima tahun sebelum Ahmad Dahlan meninggal dunia, dalam
rapat tahunan (algemeene vergadering) pada 1918 muncul dualisme gagasan, yaitu
Muhammadiyah sebagai organisasi politik dan Muhammadiyah sebagai organisasi
kemasyarakatan (Syaifullah, 1997:95). Gagasan pertama diwakili oleh Agus Salim—salah
seorang penandatangan Piagam Jakarta tahun 1945—dan gagasan kedua diwakiliki
oleh Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah. Munculnya dualisme ini dimungkinkan
karena agenda rapat tahunan tersebut membicarakan UU dasar atau anggaran
dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) persyarikatan Muhammadiyah.
Perbincangan mengenai pentingnya politik bagi
Muhammadiyah, ditambah dengan gaya retorika dan agitasi Agus Salim sebagai
tokoh politik Syarikat Islam membuat peserta rapat tahunan terpikat padanya.
Hal ini disaksikan dan diakui oleh salah seorang kader Ahmad Dahlan yang ikut
dalam rapat tersebut, yaitu Hadjid, yang pada kemudian hari menjadi anggota
Konstituante dari fraksi Masyumi. Namun argumentasi Ahmad Dahlan kemudian
mengemuka bahwa membangun bangsa ini di satu sisi serta perjuangan menegakkan
Islam di sisi yang lain merupakan perjuangan yang panjang. Dengan melihat
kondisi objektif sumber daya manusia muslim pada aspek sosial, ekonomi,
pendidikan dan politik yang masih rendah, tidak mungkin perjuangan itu
dilakukan dalam kancah politik-kekuasaan semata tetapi yang lebih penting bagi
Ahmad Dahlan adalah perjuangan memperbaiki sumber daya manusianya melalui
pendidikan.
Tarik-menarik pemikiran dan kepentingan apakah
Muhammadiyah mesti menjadi organisasi politik atau organisasi sosial terus
berlanjut seiring dengan menguatnya kesadaran nasional menuju kemerdekaan 1945
dan masa-masa berikutnya. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu lumrah saja
muncul di tengah himpitan dinamika sosial dan politik yang kian memanas yang
menuntut respons cepat dan diplomatis. Tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki
Bagus Hadikusumo dan Prof. Kahar Muzakkir yang mewakili umat Islam menyerukan
perlunya Islam sebagai landasan ideologi negara. Ini berarti Muhammadiyah
sebagai salah satu organisasi Islam diharapkan memainkan peran besar dalam
konteks dinamika sosial dan politik kelak di kemudian hari.
Namun demikian, sikap tegas Muhammadiyah sebagai
organisasi sosial-keagamaan tetap berkumandang. Dalam khutbah iftitah Muktamar
Muhammadiyah I sesudah kemerdekaan RI pada 1950, Muhammadiyah menyatakan:
Rasa kebangsaan, rasa keagamaan, rasa kenasionalan,
dan bahwa [kejayaan] agama Islam hanya dapat dicapai di negara Indonesia yang
merdeka, tidak pernah hilang dan tiada pernah lepas dari tiap keluarga
Muhammadiyah. Meskipun tidak berpolitik [Muhammadiyah bukan organisasi
politik], yang menjadi tujuan Muhammadiyah adalah sama dengan yang menjadi
tujuan tiap golongan putra-putra tanah air, yaitu berjasa untuk tanah air dan
bangsa dengan dorongan iman dan agamanya, agar bangsanya berbudi luhur dan
tanah airnya kelak beroleh kedudukan mulia dan terhormat, sejajar dengan
bangsa-bangsa lain (Sukriyanto AR dan A. Munir Mulkhan [1985] dalam Syaifullah,
1997:128).
Selanjutnya fase penting yang menandai kiprah
sosial-politik Muhammadiyah adalah ketika bersinggungan dengan Partai Masyumi.
Partai Masyumi lahir di Yogyakarta pada 7-8 November 1945 yang diputuskan dalam
Kongres Muslimin Indonesia di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta
sebagai respons umat Islam terhadap imbauan pemerintah melalui pengumuman 3
Oktober 1945 yang mengajak rakyat untuk mendirikan partai. Kongres tersebut
juga mengikrarkan bahwa pertama, Masyumi adalah satu-satunya partai politik
Islam di Indonesia. Kedua, bahwa Masyumi-lah yang akan memperjuangkan nasib
umat Islam Indonesia (Syafi’i Ma’arif, 1987:48; Syaifullah, 1997:141-142).
Peristiwa tersebut menyiratkan bahwa Muhammadiyah
merupakan salah satu unsur penting pendirian Masyumi sekaligus pada akhirnya
beberapa pimpinan Muhammadiyah duduk dalam kepengurusan Masyumi pertama (1945)
dan berikutnya (1949; 1951; 1952; 1954; 1956; 1959). Dalam kurun waktu
tertentu, lebih-lebih setelah NU keluar (1952), Muhammadiyah selalu menjaga
perimbangan orang-orangnya dalam Masyumi.
2. Nhadatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama, disingkat NU, artinya kebangkitan
ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari
1926/16 Rajab 1344 H di Surabaya. Pembangunnya ialah alim ulama dari tiap-tiap
daerah di jawa timur. Di antaranya ialah:
1.
K.H. Hasyim
Asy’ari Tebuireng.
2.
K.H. Abdul Wahab
Hasbullah.
3.
K.H. Bisri
Jombang.
4.
K.H. Ridwan
Semarang.
5.
K.H. Nawawi
Pasuruan.
6.
K.H.R. Asnawi
Kudus
7.
K.H.R. Hambali
Kudus.
8.
K. Nakhrawi
Malang.
9.
K.H. Doromuntaha
Bangkalan.
10. K.H.M. Alwi Abdul Aziz.
11. Dan lain-lain.
Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan
perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam kala itu. Pada tahun
1924, Syarif Husein, Raja Hijas (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukan oleh
Abdul Azis bin Saud yang beraliran Wahabi.Tersebarlah berita penguasa baru itu
akan melarang semua bentuk amaliah keagamaan ala kaum Sunni, yang sudah
berjalan puluhan tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya dengan model
wahabi. Pengamalan agama dengan system bermadhab, tawasul, ziarah kubur, mauled
nabi dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, Raja Ibnu Saud juga ingin melebarkan
pengaruh kekuasaanya ke seluruh dunia Islam. Dengan dalih demi kejayaan Islam,
ia berencana meneruskan kekhilafahan Islam yang terputus di Turki pasca
runtuhnya Daulah usmaniyah. Untuk itu dia berencana menggelar Muktaram Khilafah
di Kota Suci Makkah, sebagai penerus Khalifah yang terputus itu.
·
Sebelum
kemerdekaan
Sejarah Indonesia mencatat perkembangan baru setelah
Maret 1942 bala tentera ‘Dai Nippon’ menggantikan kedudukan Belanda . Pada
mulanya kedatangan ‘saudara tua’ ini dasambut dengan mesra oleh bangsa
Indonesia. Tetapi, kemesraan itu segara hilang. mereka mengetahui bahwa Jepang
tidak lebih baik dari Belanda, mereka justru kejam, brutal, dan tidak
segan-segan membunuh orang yang di anggap membangkang.
Jenderal pertama Jepang di Jawa, Letnan Jendral
Imamura- melarang semua aktivitas organisasi bentuk apapun. Kegiatan
oraganisasi hanya boleh dilakukan jika telah melapor dan mendapat izin dari
Jepang, apabila tidak maka di anggap membangkang dan hukuman berat segera
dijatuhkan. Larangan semacam ini sama artinya membunuh aktivitas organisasi
sosial keagamaan maupun politik di Indonesia, tidak terkecuali Partai Syarikat
Islam Indonesia. Hal ini dilakukan dengan dalih sedang berkecamuknya perebutan
daerah jajahan antar Jepang dan Belanda di berbagai tempat di Indonesia,
seperti di Surabaya, Balikpapan, Tarakan, Makasar dan lain sebagainya, sehingga
pemerintah Jepang harus mengkonsentrasikan perang melawan Belanda. Peraturan
Jepang yang semacam ini tentu saja membuat gerah para tokoh agama maupun
politik kala itu, dan yang lebih menderita lagi kala itu adalah para tokoh NU.
Dua bulan setelah Jepang menguasai Jawa, Rais Akbar
NU, KH. Hasyim Asy’ari dan Hoofdbestuur (Pengurus Besar) NU, KH. Mahfudz
Shidiq, ditangkap tentara Jepang dan di penjarakan selama sekitar empat bulan.
Peristiwa penangkapan tokoh NU tersebut cukup mengemparkan dunia pesantren dan
menggelisahkan warga NU, sehingga diupayakan bentuk-bentuk penyelesaian.
Pada 1 Agustus 1942 para konsul NU mengadakan
pertemuan di Jakarta, membahas pembelaan terhadap kedua pimpinannya yang
disekap Jepang, selain itu juga disepakati tata cara menghadapi Dai Nippon
secara lunak dan diplomatis. Sebab menurut pandangan NU, kemerdekaan Indonesia
hanya soal waktu, sehingga perlu memanfaatkan isu kolaborasi dengan Jepang
dalam bentuk apapun, guna tercapainya kemenangan akhir bagi bangsa Indonesia.
Kendati demikian, NU mau tidak mau harus bekerjasama dengan Jepang, tetapi
tujuan utamanya justru untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia, dan sikap
kerja sama NU bukan sikap ketergantungan kepada Jepang dan lantas dapat membeli
NU, akan tetapi disitulah letak ‘ rule of game’ menghadapi lawan atau musuh.
Hingga akhirnya pada September 1943 secara resmi
Jepang mengizinkan dan mengakui aktifnya kembali Nahdatul Ulama dan
Muhammadiyah. Dengan bekal jabatan anggota legislatif inilah KH.A. Wahid Hasyim
mulai melancarkan kontak-kontak dengan kelompok-kelompok nasionalis. Beliau
juga aktif memperhatikan badan ‘Tiga A’ sebuah badan yang dibentuk untuk
menghimpun seluruh tenaga pemimpin Indonesia guna mengarahkan rakyat membantu
Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Setelah itu badan ini berubah menjadi
‘PUTERA’(Pusat Tentara Rakyat) dan pada tahun 1944 berubah menjadi Jawa Hokokai
dan sebagai pimpinannya adalah KH.A. Wahid Hasyim dan Ir. Soekarno. Perjuangan Nahdlotul Ulama terus di
galakan demi terciptanya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. melalui KH.A. Wahid
Hasyim Nahdlotul Ulama tidak henti-hentinya mengadakan kontak dengan para
nasionalis, guna mendesak janji pemirintah militer Jepang agar segera
mewujudkan janji kemerdekaan yang pernah diucapkan. Perjuangan itu berhasil
gemilang hingga pada 26 April 1945 di bentuk ‘Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai’ atau
yang lebih dikenal dengan BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan). Selanjutnya beliau juga merumuskan Dasar negara dan termasuk
dalam kelompok sembilan orang yang membubuhkan tanda tangannya pada ‘Piagam
Jakarta’ setelah proklamasi kemerdekaan dan menempati posisi sebagai Menteri
Negara.
·
Sesudah Kemerdekaan
Apabila di zaman Jepang aktifitas NU berfokus pada
perjuangan membela kemerdekaan agama, bangsa secara fisik maupun politik, maka
di masa revolusi (1945-1949) lebih diperhebat lagi, NU agaknya sadar betul
bahwa sejarah masih dalam proses. Meski kemerdekaan telah tercapai, pertahanan
dan keamanan masih haris di jaga dengan ketat. Karena itu ketika tentara sekutu
(NICA) hendak mencoba kembali mengantikan kedudukan Jepang, NU segera memanggil
konsul-konsulnya se-Jawa dan Madura guna menentukan sikap terhadap NICA, dan
mengeluarkan resolusi yang bernama ‘Resolusi Jihad’ yang sangat penting bagi
sejarah revolusi 1945 dan di pimpin langsung olah KH. Hasyim Asy’ari. Resolusi
Jihad ini kemudian menggema di seluruh Jawa dan Madura terutama di Surabaya.
Semangat jihad malawan tentera sekutu dan NICA membara
di mana-mana. Pondok-pondok pesantren telah berubah menjadi markas Hizbullah
dan Sabilillah. Suasana gegap gempita mewarnai kehidupan masyarakat yang pada
dasarnya tinggal menuggu perintah, karena itu mungkin sekali resolusi jihad itu
kemudian menjadi inspirasi bagi berkobarnya pertempuran 10 November 1945 di
Surabaya yang di kenal sebagai ‘ Hari Pahlawan’.
Selain dari pada itu, tokoh-tokoh penting NU menduduki
posisi penting dalam dewan pimpinan partai Masyumi Indonesia, dan ini bisa di
lihat dari nama-nama yang tercantum dalam kepemimpinan Masyumi periode pertama,
yang dalam strukturnya dibedakan atas dua lembaga : Pengurus Besar dan Mejeli
Syura. Pengurus Besar di pimpin oleh Dr. Soekiman, Abi Koesno T, dan Wali
al-Fatah, sedangkan Majelis Syura dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari, Ki Bagus
Hadikusuma, KH.A. Wahid Hasyim dan Mr. Kasman Singodimejo. Peranan itu diperkuat
lagi ketika partai Masyumi mengadakan muktamar di Solo pada 10-13 Februari
1946. Dalam muktamar tersebut terjadi sedikit sekali perubahan mengenai
struktur organisasi yang pada dasarnya memperkuat posisi NU dalam ‘Dewan
Pimpinan Partai’.
Dengan demikian peran NU bukan hanya sebagai pemegang
kendali dalam Masyumi, melainkan juga menentukan arah politik partai. Barang
kali karena posisi penting itulah maka pada muktamar NU ke-16 di Purwokerto,
26-29 Maret 1946, perlu menegaskan: NU masuk sebagai anggota istimewa Masyumi.
Bahkan lebih dari itu, muktamar juga menyerukan kepada seluruh warga NU di
semua tingkatan untuk tetap aktif dalam mendukung tegaknya partai Masyumi,
hingga kemudian tidak jarang dijumpai pimpinan NU di daerah merangkap sebagai
pimpinan Masyumi. Selama masa perkembangan (1935-1950) NU telah melakkukan berbagai
perubahan cukup berarti, baik untuk kepentingan intern NU maupun bagi
kepentingan bangsa pada umumnya.
PENUTUP
Kesimpulan
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh. Ini
mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang
bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M.
Daerah yang pertama-pertama dikunjungi ialah
Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh Timur, kemudian
meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di Samudera Pasai, Aceh
Utara.
Beberapa ormas seperti muhammadiyah dan nahdatul ulama
sangat nampak perannya dalam peradaban islam di indonesia. Peran muhammadiyah
antara lain adalah mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan
rapat-rapat dan tablig dimana dibicarakan masalah-masalah islam, menerbitkan
wakaf dan mendirikan masjid-masjid serta menerbitkan bku-buku, brosur-brosur
surat-surat kabar dan majalah-majalah. Sedangkan peran Nahdatul Ulama melalui
KH.A. Wahid Hasyim tidak henti-hentinya mengadakan kontak dengan para
nasionalis, guna mendesak janji pemirintah militer Jepang agar segera
mewujudkan janji kemerdekaan yang pernah diucapkan dan lebih berfokus pada
pembinaan umat menurut wawasan keagamaanya yang memang sesuai dengan wawasan
keagamaan mayoritas kaum muslimin Indonesia, seperti dakwah, pendidikan serta
pengembangan ekonomi.
DAFTAR
PUSTAKA
Dra. Zuhairini, dkk. Sejarah pendidikan Islam, Bumi
Aksara, Jakarta, 2010, hal 171
http://bungamasamba.blogspot.com/2011/08/peradaban-islam-di-indonesia-makalah.html
https://ferryrosstar.wordpress.com/2013/09/19/sejarah-peradaban-islam-spi/
http://4iral0tus.blogspot.com/2009/12/kontribusi-muhammadiyah-terhadap.html
http://klikagama.blogspot.com/2007/09/dinamika-perjuangan-muhammadiyah.html
Komentar
Posting Komentar